A. Demokrasi dan Implementasinya
Pembahasan tentang peranan negara dan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari telaah tentang demokrasi dan hal ini karena dua alasan.
Pertama hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asasnya yang fundamental sebagai telah ditunjukkan oleh hasil studi UNESCO pada awal 1950-an yang mengumpulkan le¬bih dari 100 Sarjana Barat dan Timur, sementara di negara-negara de¬mokrasi itu pemberian peranan kepada negara dan masyarakat hidup dalam porsi yang berbeda-beda (kendati sama-sama negara demokra¬si).
Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya tetapi ternyata demokrasi itu berjalan dalam jalur yang berbeda-beda (Rais, 1995: 1).
Dalam hubungannya dengan implementasi ke dalam sistem pe¬merintahan, demokrasi juga melahirkan sistem yang bermacam-ma¬cam seperti:
pertama, sistem presidensial yang menyejajarkan antara parlemen dan presiden dengan memberi dua kedudukan kepada presi¬den yakni sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Kedua, sis¬tem parlementer yang meletakkan pemerintah dipimpin oleh perdana menteri yang hanya berkedudukan sebagai kepala pemerintahan dan bukan kepala negara, sebab kepala negaranya bisa diduduki oleh raja atau presiden yang hanya menjadi simbol kedaulatan dan persatuan dan;
ketiga, sistem referendum yang meletakkan pemerintah sebagai bagian (badan pekerja) dari parlemen. Di beberapa negara ada yang menggunakan sistem campuran antara presidensial dengan parlemen¬ter, yang antara lain dapat dilihat dari sistem ketatanegaraan di Perancis atau di Indonesia berdasar UUD 1945.
Dengan alasan tersebut menjadi jelas bahwa asas demokrasi yang hampir sepenuhnya disepakati sebagai model terbaik bagi dasar, penyelenggaraan negara ternyata memberikan implikasi yang berbeda, di antara pemakai-pemakainya bagi peranan negara.

B. Arti dan Perkembangan Demokrasi
Secara etimologis Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani.
“demos” berarti rakyat dan
“kratos/kratein” berarti kekuasaan.
Konsep dasar demokrasi berarti “rakyat berkuasa” (government of rule by the people).
Ada pula definisi singkat untuk istilah demokrasi yang diarti¬kan sebagai pemerintahan atau kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun demikian penerapan demokrasi diberbagai nega¬ra di dunia, memiliki ciri khas dan spesifikasi masing-masing, yang la-zimnya sangat dipengaruh oleh ciri khas masyarakat sebagai rakyat dalam suatu Negara.
Demokrasi mempunyai arti yang penting bagi masyarakat yang menggunakannya, sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk me¬nentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin. Oleh sebab itu, hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasi¬onal implikasinya di berbagai negara tidak selalu sama. Sekedar untuk menunjukkan betapa rakyat diletakkan pada posisi penting dalam asas demokrasi ini berikut akan dikutip beberapa pengertian demokrasi.
Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam ma¬salah-masalah pokok mengenai kehidupannya, termasuk dalam meni¬lai kebijakasanaan negara, karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat (Noer, 1983: 207). Jadi, negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rak¬yat, atau jika ditinjau dari sudut organisasi, ia berarti suatu pengorga¬niasasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau asas persetu¬juan rakyat karena kedaulatan berada ditangan rakyat.
Dalam hubungan ini menurut Henry B. Mayo bahwa sistem po¬litik demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijaksa¬naan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang di¬awasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik (Mayo, 1960: 70).
Meskipun dari berbagai pengertian itu terlihat bahwa rakyat di¬letakkan pada posisi sentral “rakyat berkuasa” (government or role by the people) tetapi dalam praktiknya oleh Unesco disimpulkan bahwa
ide demokrasi itu dianggap ambiguous atau mempunyai arti ganda, sekurang-kurangnya ada ambiguity atau ketaktentuan mengenai lem¬baga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide, “atau mengenai keadaan kultural serta historis yang mempengaruhi isti¬lah ide dan praktik demokrasi (Budiardjo, 1982: 50). Hal ini bisa dili¬hat betapa negara-negara yang sama-sama menganut asas demokrasi ternyata mengimplementasikannya secara tidak sama. Ketidaksamaan tersebut bahkan bukan hanya pada pembentukan lembaga-lembaga atau aparatur demokrasi, tetapi juga menyangkut perimbangan porsi yang terbuka bagi peranan maupun peranan rakyat.
Memang sejak dimunculkannya kembali asas demokrasi yaitu setelah tenggelam beberapa abad dari permukaan Eropah telah me¬nimbulkan masalah tentang siapakah sebenarnya yang lebih berperan dalam menentukan jalannya negara sebagai organisasi tertinggi: nega¬ra ataukah masyarakat? Dengan kata lain, negarakah yang menguasai negara? Pemakaian demokrasi sebagai prinsip hidup bernegara sebe¬narnya telah melahirkan fiksi-yuridis bahwa negara adalah milik ma-syarakat, tetapi pada fiksi-yuridis inilah telah terjadi tolak-tarik kepen¬tingan, atau kontrol, tolak-tarik mana yang kemudian menunjukkan aspel lain yakni tolak-tarik antara negara-masyarakat karena kemu¬dian negara terlihat memiliki pertumbuhannya sendiri sehingga lahir¬lah konsep tentang negara organis (Mahasin, 1984: 2). Pemahaman atas masalah ini akan lebih jelas melalui penelusuran sejarah perkem¬bangan prinsip itu sebagai asas hidup negara yang fundamental.
Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hu¬bungan negara dan hukum di Yunani Kuno dan dipraktikkan dalam hi¬dup bernegara antara abad ke 4 sebelum masehi sampai abad 6 ma¬sehi. Pada waktu itu, dilihat dari pelaksanaanya, demokrasi yang di¬praktekkan bersifat langsung (direct democracy), artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara lang¬sung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung ini dapat dilaksanakan secara efektif karena Negara Kota (City State) Yunani Kuno berlangsung dalam kondisi se¬derhana dengan wilayah negara yang hanya terbatas pada sebuah kota dan daerah sekitarnya dan jumlah penduduk yang hanya lebih kurang 300.000 orang dalam satu negara. Lebih dari itu ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi yang meru¬pakan sebagian kecil dari seluruh penduduk. Sebagian besar yang ter¬diri dari budak belian, pedagang asing, perempuan, dan anak-anak ti¬dak dapat menikmati hak demokrasi (Budiardjo, 1982: 54).
Gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan lenyap dari muka Dunia Barat ketika bangsa Romawi dikalahkan oleh suku Eropah Ba¬rat dan Benua Eropah memasuki abad Pertengahan (600-1400). Ma¬syarakat abad Pertengahan ini dicirikan oleh struktur sosial yang feo¬dal, kehidupan sosial dan spiritualnya dikuasai oleh Paus dan Pejabat¬-pejabat agama, sedangkan kehidupan politiknya ditandai oleh pere¬butan kekuasaan di antara para bangsawan. Dengan demikian, masya¬rakat Abad Pertengahan terbelenggu oleh kekuasaan feodal dan keku¬asaan pemimpin-pemimpin agama, sehingga tenggelam dalam apa yang disebut sebagai masa kegelapan. Kendati begitu, ada sesuatu yang penting berkenaan dengan demokrasi pada abad pertengahan itu, yakni lahirnya dokumen Magna Charta (Piagam Besar ), sesuatu pia¬gam yang berisi semacam perjanjian antara beberapa bangsawan dan Raja John di Inggris bahwa Raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan previleges bahwasannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan lain-lain. Lahirnya piagam ini, dapat dikatakan sebagai lahirnya suatu tonggak baru bagi perkembangan demokrasi, sebab dari piagam tersebut terlihat adanya dua prinsip da¬sar:
pertama, kekuasaan Raja harus dibatasi;
kedua, hak asasi manusia lebih penting dari pada kedaulatan Raja (Ramdlonnaning, 1983: 9).
Ranaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani kuno, yang berupa gelombang-gelom¬bang kebudayaan dan pemikiran yang dimulai di Italia pada abad ke¬-14 dan mencapai puncaknya pada abad ke-15 dan16.
Masa Renais¬sance adalah masa ketika orang mematahkan semua ikatan yang ada dan menggantikan dengan kebebasan bertindak yang seluas-luasnya sepanjang sesuai dengan yang dipikirkan, karena dasar ide ini adalah kebebasan berpikir dan bertindak bagi manusia tanpa boleh ada orang lain yang menguasai atau membatasi dengan ikatan-ikatan. Hal itu di¬samping mempunyai segi positif yang cemerlang dan gemilang karena telah mengantarkan dunia pada kehidupan yang lebih modern dan mendorong berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi juga memberi sisi negatifnya sendiri, sebab dengan adanya pemikiran untuk lepas dari semua ikatan (dan orang tak mungkin hidup tanpa ikatan-ikatan) berkembanglah sifat-sifat buruk dan asosial seperti ke bencian, iri hati, atau cemburu yang dapat meracuni penghidupan yang mengakibatkan terjadinya perjuangan sengit di setiap lapangan, dengan saling bersiasat, membujuk, menipu, atau melakukan apa saja diinginkan kendati melalui cara yang tercela secara moral.
Selain Renaissance, peristiwa lain yang mendorong timbulnya kembali “demokrasi” yang dahulu tenggelam dalam abad Pertengahan adalah terjadinya Reformasi, yakni revolusi agama yang terjadi di Eropah Barat pada abad ke-16 yang pada mulanya menunjukkan sebagai pergerakkan perbaikan keadaan dalam gereja Katolik tetapi kemudian berkembang menjadi asas-asas Protestanisme. Reformasi dimulai pada pintu gereja Wittenberg (31 Oktober 1517), yang kemudian segera memancing terjadinya serangan terhadap gereja. Luther mempunyai ajaran tentang pengampunan dengan kepercayaan saja sebagai pengganti upacara-upacara, pekerjaan baik dan perantaraan gereja, serta mendesak supaya membaca kitab suci yang ternyata telah memberikan pertanggungjawaban lebih besar kepada perseorangan untuk keselamatan sendiri. Ajaran yang kemudian disambut dimana-mana itu telah menyulut api pemberontakan secara cepat dan meluas di jerman dan sekitarnya, sengketa dengan gereja dan kaisar berjalan lama dan getir yang tidak terselesaikan dengan diselenggarakannya. muktamar-muktamar di Speyer (1526, 1529) dan di Augsburg (1530) Berakhirnya Reformasi ditandai dengan terjadinya perdamaian Westphalia (1648) yang ternyata mampu menciptakan keseimbangan sete.lah kelelahan akibat perang yang berlangsung selama 30 tahun. Na¬mun, Protestanisme yang lahir dari Reformasi itu tidak hilang dengan selesainya Reformasi, tetapi tetap menjadi kekuatan dasar di dunia Barat sampai sekarang (Shadily, 1977: 937).
Dua kejadian (Renaissance dan Reformasi) ini telah mempersiapkan Eropah masuk ke dalam Aufklarung (Abad Pemikiran) dan Ra¬sionalisme yang mendorong mereka untuk memerdekakan pikiran dari batas-batas yang ditentukan gereja untuk mendasarkan pada pemikiran atau akal (rasio) semata-mata yang pada gilirannya kebebasan berpikir menelorkan lahirnya pikiran tentang kebebasan politik. Dari sini timbullah gagasan tentang hak-hak politik rakyat yang tidak boleh diselewengkan oleh raja, serta timbul kecaman-kecaman terhadap raja yang pada waktu rezim memerintah dengan kekuasaan tak terbatas da¬lam gagasan politik dan bentuk monarki-monarki absolut. Gagasan¬-gagasan politik dan kecaman terhadap absolutisme monarki itu telah pula didukung oleh golongan menengah (midleclass) yang waktu itu mulai berpengaruh karena kedudukan ekonomi dan mutu pendidikan golongan ini relatif baik (Budiardjo, 1982: 55).
Kecaman dan dobrakan terhadap absolutisme monarki didasar¬kan pada teori rasionalistis sebagai “sosial-contract” (perjanjian masy¬arakat) yang salah satu asasnya menentukan bahwa dunia ini dikua¬sai oleh hukum yang timbul dari alam (natural) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal yang mempermasalahkan ber¬lakunya hukum alam (naturallaw) bagi semua orang dalam bidang politik telah melahirkan pendapat umum bahwa hubungan antara raja dan rakyat didasarkan pada suatu perjanjian yang mengikat kedua be¬lah pihak; Raja diberi kekuasaan untuk menyelenggarakan penertiban dan menciptakan suasana yang memungkinkan rakyat menikmati hak¬-hak alamnya dengan aman, sedangkan rakyat akan mentaati pemerin¬tahan raja, asal hak-hak alamnya juga terjamin (Budiardjo, 1982: 56).
Tampak bahwa teori hukum alam merupakan usaha untuk men¬obrak pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak politik rakyat alam suatu asas vang disebut demokrasi (pemerintah rakyat). Dua fil¬suf besar yaitu John Locke dan Montesquieu, masing-masing dari lngg¬ris dan Perancis telah memberikan sumbangan yang besar dagi gag¬asan pemerintahan demokrasi ini. John Locke (1632- 1704) mengem¬ukakan bahwa hak-hak politik rakyat mencakup hak atas hidup, keb¬ebasan dan hak memiliki (live, liberal, property); sedangkan Montesquieu (1689-1955) mengemukakan sistem pokok yang menurutnya dapat menjamin hak-hak politik tersebut melalui “Trias Politika”-nya, yakni suatu sistem pemisahan kekusaan dalam negara ke dalam ke¬kuasaan legislatis, eksekutif dan yudikatif yang masing-masing harus dipegang oleh organ sendiri yang merdeka, artinya secara prinsip nya semua kekuasaan itu tak boleh dipegang hanya seorang saja.
Dari pemikiran tentang hak-hak politik rakyat dan pemisahan kekuasaan inilah terlihat munculnya kembali ide pemerintahan (demokrasi). Tetapi dalam kemunculannya sampai saat ini demo telah melahirkan dua konsep demokrasi yang berkaitan dengan peranan negara dan peranan masyarakat, yaitu demokrasi konstitusional abad ke-19 dan demokrasi konstitusional abad ke-20 yang keduanya senantiasa dikaitkan dengan konsep negara hukum (Mahfud, 1999;20).

C. Bentuk-bentuk Demokrasi

Menurut Torres demokrasi dapat dilihat dari dua aspek yang pertama, formal democracy dan kedua, substantive democracy, menunjuk pada bagaimana proses demokrasi itu dilakukan (Winataputra, 2006).
Formal democracy menunjuk pada demokrasi dalam arti sistem pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai pelaksanaan demokrasi di berbagai Negara. Dalam suatu negara misalnya dapat diterapkan demokrasi dengan menerapkan sistem presidensial, atau sistem parlementer.
Sistem Presidensial: sistem ini menekankan petingnya pemilihan presiden secara langsung, sehingga Presiden terpilih mendapatkan mandat secara langsung dari rakyat. Dalam sisem ini kekuasaan eksekutif (kekuasaan menjalankan pemerintaan) sepenuhnya berada ditangan presiden. Oleh karena itu presiden adalah merupakan kepala eksekutif (head of government) dan sekaligus menjadi kepala negara (head of state ). Presiden adalah penguasa dan sekaligus sebagai simbol kepemimpinan negara (Tim LP3, UMY). Sistem demokrasi ini bagaimana diterapkan di negara Amerika dan negara lndonesia.
Sistem Parlemenker : Sistem ini menerapkan model hubungan yang menyatu antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. kepala eksekutif (head of government) adalah berada di tangan seorang perdana menteri. Adapun kepala negara (head of state) adalah berada pada seorang ratu, misalnya di negara Inggris atau ada pula yang berada pada seorang presiden misalnya di India.
Selain bentuk demokrasi sebagaimana dipahami di atas terdapat beberapa sistem demokrasi yang mendasarkan pada prinsip filosofi Negara.

1. Demokrasi Perwakilan Liberal
Prinsip demokrasi ini didasarkan pada suatu filsafat kenegaraan bahwa manusia adalah sebagai makhluk individu yang bebas. Oleh karen¬a itu dalam sistem demokrasi ini kebebasan individu sebagai dasar fundamental dalam pelaksanaan demokrasi.
Pemikiran tentang negara demokrasi sebagaimana dikembang¬ oleh Nobbes, Locke dan Rousseau bahwa negara terbentuk karena adanya perbenturan kepentingan hidup mereka dalam hidup bermasy¬arakat dalam suatu natural state. Akibatnya terjadilah perindasan di antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu individu-individu dalam satu masyarakat itu membentuk suatu persekutuan hidup bersama yang disebut negara, dengan tujuan untuk melindungi kepentingan dan hak individu dalam kehidupan masyarakat negara. Atas dasar kepen¬ting ini dalam kenyataannya muncullah kekuasaan yang kadangkala menjurus ke arah otoriterianisme.
Berdasarkan kenyataan yang dilematis tersebut, maka muncullah pemikiran ke arah kehidupan demokrasi perwakilan liberal, dan hal inilah yang sering dikenal dengan demokrat-demokrat liberal. lndividu dalam suatu negara dalam partisipasinya disalurkannya melalui wakil-w¬akil yang dipilih melalui proses demokrasi.
Menurut Held (2004: 10), bahwa demokrasi perwakilan liberal merupakan suatu pembaharuan kelembagaan pokok untuk mengatasi problema keseimbangan antara kekuasaan memaksa dan kebebasan. Namun demikian perlu disadari bahwa dalam prinsip demokrasi ini apapun yang dikembangkan melalui kelembagaan negara senantiasa merupakan suatu manifestasi perlindungan serta jaminan atas kebe¬basan individu dalam hidup bernegara. Rakyat harus diberikan jamina¬n kebebasan secara individual baik di dalam kehidupan politik, eko¬nomi, sosial, keagamaan bahkan kebebasan anti agama.
Konsekuensi dari implementasi sistem dan prinsip demokrasi ini ,adalah berkembang persaingan bebas, terutama dalam kehidupan eko¬nomi sehingga akibatnya individu yang tidak mampu menghadapi per¬saingan tersebut akan tenggelam. Akibatnya kekuasaan kapitalislah yang menguasai kehidupan negara, bahkan berbagai kebijakan dalam negara sangat ditentukan oleh kekuasaan kapital. Hal ini sesuai dengan analisis P. L. Berger bahwa dalam era global dewasa ini dengan semangat pasar bebas yang dijiwai oleh filosofi demokrasi liberal, maka kaum kapitalislah yang berkuasa. Kapitalime telah menjadi fenomena global dan dapat mengubah masyarakat diseluruh dunia baik dalam bidang sosial, politik maupun kebudayaan (Berger, 1988).

2. Demokrasi Satu Partai dan Komunisme
Demokrasi satu partai ini lazimnya dilaksanakan di negara-negara komunis seperti, Rusia, China, Vietnam dan lainnya. Kebebasan formal berdasarkan demokrasi liberal akan menghasilkan kesenjangan kelas yang semakin lebar dalam masyarakat, dan akhirnya kapitalisiah yang menguasai negara.
Dalam hubungan ini Marx mengembangkan pemikiran sistem demokrasi “commune structure” (struktur persekutuan). Menurut sistem demokrasi ini masyarakat tersusun atas komunitas-komunitas yang terkecil. Komunitas yang paling kecil ini mengatur urusan mereka sendiri, yang akan memilih wakil-wakil untuk unit-unit administratif yang besar misalnya distrik atau kota. Unit-unit administratif yang lebih besar ini kemudian akan memilih calon-calon administratif yang lebih besar lagi yang sering diistilahkan dengan delegasi nasional (Marx, 1970: 67). Susunan ini sering dikenal dengan struktur “piramida” dari “demokrasi delegatif”. Semua delegasi bisa ditarik kembali, diikat oleh perintah-perintah dari distrik pemilihan mereka dan diorganisasikan dalam suatu “piramida” komite-komite yang dipilih secara langsung. Oleh karena itu menurut komunis, negara post kapitalis tidak akan melahirkan kemiripan apapun dengan suatu rezim liberal, yakni rezim parlementer. Semua perwakilan atau agen negara akan dimasukkan ke dalam lingkungan seperangkat institusi-institusi tunggal yang bertanggung jawab secara langsung.
Menurut pandangan kaum Marxis-Leninis, sistem demokrasi delegatif harus dilengkapi, pada prinsipnya dengan suatu sistem y ang terpisah tetapi sama pada tingkat partai komunis. Transisi menuju sosialisme dan komunisme memerlukan kepemimpinan yang profesional, dari kader-kader revolusioner dan disiplin (Lenin, 1947). Hanya kepemimpinan yang seperti itu yang mempunyai kemampuan untuk mengorganisasikan pertahanan revolusi melawan kekuatan-kekuatan kapitalis dan mengawasi rekonstruksi masyarakat. Hal itu dikarenakan perbedaan kepentingan yang fundamental adalah kepentingan kelas, karena titik tolak kepentingan kelas pekerja merupakan suatu kepentingan yang progresif dalam masyarakat, dan karena selama dan setelah revolusi kepentingan kelas pekerja itu harus diartikulasikan secara pasti. Oleh karena itu partai revolusioner merupakan hal yang esensial. Partai tersebut merupakan instrument yang bisa menciptakan landasan bagi sosialisme dan komunisme (Held, 2004: 15-17).
Berdasarkan teori serta praktek demokrasi sebagaimana dijelaskan di atas maka pengertian demokrasi secara filosofis menjadi semakin luas, artinya masing-masing paham mendasarkan pengertian bahwa kekuasaan di tangan rakyat.

D. Demokrasi di Indonesia
1. Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Dalam sejarah negara Republik Indonesia yang telah lebih dari setengah abad, perkembangan demokrasi telah mengalami pasang surat. Masalah pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia ialah Bagaimana meningkatkan kehidupan ekonomi dan membangun kehidupan sosial dan politik yang demokratis dalam masyarakat yang beraneka ragam pola adat budayanya. Masalah ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik dengan kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta character and nation building, dengan partisipasi rakyat, sekaligus menghindarkan timbulnya diktatur perorangan, partai ataupun militer.
Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dibagi dalam empat periode:
a. Periode 1945-1959, masa demokrasi perlementer yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai. Pada masa ini kelemahan demokrasi parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan DPR. Akibatnya persatuan yang digalang selama perjuangan melawan musuh bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan.
b. Periode 1959-1965, masa Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional dan lebih menampilkan beberapa aspek dari demokrasi rakyat. Masa ini ditandai dengan dominasi presiden, terbatasnya peran partai politik, perkembangan pengaruh komunis, dan peran ABRI sebagai unsur sosial-politik, semakin meluas.
c. Periode 1966-1998, masa demokrasi Pancasila era Orde Baru yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial. Landasan formal periode ini adalah Pancasila, UUD 1945 dan ketetapan MPRS/MPR dalam rangka untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD 1945 yang terjadi di masa Demokrasi Terpimpin. Namun dalam perkembangannya peran presiden semakin dominan terhadap lembaga-lembaga negara yang lain. Melihat praktek demokasi pada masa ini, nama Panasila hanya digunakan sebagai legitimasi politis penguasa saat itu, sebab kenyataannya yang dilaksanakan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
d. Periode 1999-sekarang, masa demokrasi Pancasila era Reformasi dengan berakar pada kekuatan multi partai yang berusaha mengembalikan perimbangan kekuatan antar lembaga negara, antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pada masa ini peran partai politik kembali menonjol, sehingga iklim demokrasi memperoleh nafas baru. Jikalau esensi demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat, maka praktek demokrasi tatkala Pemilu memang demikian, namun dalam pelaksanannya setelah pemilu banyak kebijakan tidak mendasarkan pada kepentingan rakyat, melainkan lebih ke arah pembagian kekuasaan antara presiden dan partai politik dalam DPR. Dengan lain perkataan model demokrasi era reformasi dewasa ini, kurang mendasarkan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (walfare state).
2. Pengertian Demokrasi menurut UUD 1945
a. Seminar Angkatan Darat II (Agustus 1966)
1) Bidang Politik dan Konstitusional :
Demokrasi Indonesia seperti yang dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945 berarti menegakkan kembali asas-asas negara hukum di mana kepastian hukum dirasakan oleh segenap warga negara, hak-hak asasi manusia baik dalam aspek kolektif maupun dalam aspek perseorangan dijamin, dan penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara Institusional. Dalam rangka ini perlu diusahakan supaya lembaga-lembaga dan tata kerja Orde Baru dilepaskan dari ikatan pribadi dan lebih diperlembagakan.
2) Bidang Ekonomi:
Demokrasi ekonomi sesuai dengan asas-asas yang menjiwai ketentuan-ketentuan mengenai ekonomi dalam UUD 1945 yang pada hakikatnya berarti kehidupan yang layak bagi semua warganegara yang antara lain mencakup :
a) pengawasan oleh rakyat terhadap penggunaan kekayaan dan keuangan negara.
b) koperasi
c) pengakuan atas hak milik perorangan dan kepastian hukum dalam penggunaannya.
d) peranan pemerintah yang bersifat pembinaan, penunjuk jalan serta pelindung.

b. Munas III Persahi : The Rule of Law (Desember 1966)
Asas negara hukum Pancasila mengandung prinsip:
1) Pengakuan dan perlindungan hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sasial, ekonomi, kultural dan pendidikan.
2)Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak terpengaruh oleh sesuatu kekuasaan/kekuatan lain apa pun.
3) Jaminan kepastian hukum dalam semua persoalan. Yang dimaksudkan kepastian hukum yaitu jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami, dapat dilaksanakan dan aman dalam melaksanakannya.
c. Simposium hak-hak Asasi Manusia (Juni 1967)
Apa pun predikat yang akan diberikan kepada demokrasi kita, maka demokrasi itu harus demokrasi yang bertanggungjawab, artinya demokrasi yang dijiwai oleh rasa tanggungjawab terhadap Tuhan dan sesama kita. Berhubungan dengan keharusan kita di tahun-tahun yang akan datang untuk memperkembangkan “a rapidly expanding economy” maka di samping pemerintah yang kuat dan berwibawa, diperlukan juga secara mutlak pembebasan dinamika yang terdapat dalam masyarakat dari kekuatan-kekuatan yang mendukung Pancasila. Untuk itu diperlukan kebebasan politik yang sebesar mungkin.
Persoalan hak-hak asasi manusia dalam kehidupan kepartaian untuk tahun-tahun mendatang harus ditinjau dalam rangka keharusan kita untuk mencapai keseimbangan yang wajar di antara tiga hal ;
1) adanya Pemerintah yang mempunyai cukup kekuasaan dan kewibawaan,
2) adanya kebebasan yang sebesar-besarnya,
3) perlunya untuk membina suatu “rapidly expanding economy” (pengembangan ekonomi secara cepat).

3. Demokrasi Pasca Reformasi
Dewasa ini hampir seluruh negara di dunia mangklaim menjadi penganut setia paham demokrasi. Namun demikian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Amos J. Peaslee bahwa dalam Kenyataannya demokrasi dipraktekkan di seluruh dunia secara berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Setiap negara dan orang menerapkan definisi demokrasi menurut kriteria masing-masing, bahkan negara komunis seperti RRC, Kuba, Vietnam juga menyatakan sebagai negara demokrasi.
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas maka perlu diambil suatu pengertian esensial tentang demokrasi yang diterapkan di dalam suatu negara termasuk di negara Indonesia. Dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi harus berdasarkan pada suatu kedaulatan rakyat. Dengan lain perkataan kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara adalah di tangan rakyat. Kakuasaan dalam Negara itu dikelola oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat (Asshiddiqie, 2005: 141).
Berdasarkan esensi pengertian tersebut maka hakikat kekuasaan di tangan rakyat adalah menyangkut baik penyelenggaraan negara maupun pemerintahan. Oleh karena itu kekuasaan pemerintahan negara di tangan rakyat mengandung pengertian tiga hal: pertama, pemerintah dari rakyat (government of the people); kedua, pemerintahan oleh rakyat (government by people); ketiga, pemerintahan untuk rakyat (government for people).
Prinsip pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat tersebut bagi Negara Indonesia terkandung dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV, yang berbunyi:
“…………. maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Pembukaan UUD 1945 dalam ilmu hukum memiliki kedudukan sebagai “staatsfundamentalnorm”, oleh karena itu merupakan sumber hukum positif dalam negara Republik Indonesia. Maka prinsip demokrasi dalam Negara Indonesia selain tercantum dalam Pembukaan juga berdasarkan pada dasar filsafat negara Pancasila sila keempat yaitu kerakyatan. yang juga tercantum dalam Pembukaan UUD 145. Makna pengertian “dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” dimaksudkan bahwa dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia itu didasarkan pada moral kebijaksanaan yang terkandung dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Selain itu dasar pelaksanaan demokrasi Indonesia juga secara eksplisit tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Prinsip demokrasi tesebut secara eksplisit juga dijabarkan dalam pasal UUD 1945 hasil Amandemen dengan mewujudkan sistem penentuan kekuasaan pemerintahan negara secara langsung, yaitu melibatkan rakyat secara langsung dalam memilih presiden dan wakil presiden Pasal 6A ayat (1).
Sistem demokrasi dalam penyelenggaraan Negara Indonesia juga diwujudkan dalam penentuan kekuasaan negara, yaitu dengan menentukan dan memisahkan tentang kekuasaan eksekutif Pasal 4 sampai dengan Pasal 16, legislatif Pasal 19 sampai dengan Pasal 22, dan yudikatif Pasal 24 UUD 1945.
Struktur Pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945
1. Demokrasi Indonesia Sebagaimana Dijabarkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemmen 2002
Demokrasi sebagai sistem pemerintah dari rakyat, dalam arti rakyat sebagai asal mula kekuasaan negara sehingga rakyat harus ikut serta dalam pemerintahan untuk mewujudkan suatu cita-citanya. Suatu pemerintahan dari rakyat haruslah sesuai dengan filsafat hidup rakyat itu sendiri yaitu filsafat Pancasila, dan inilah dasar filsafat demokrasi Indonesia.
Demokrasi di Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945 selain mengakui adanya kebebasan dan persamaan hak juga sekaligus mengakui perbedaan serta keberanekaragaman mengingat Indonesia adalah “Bhinneka Tunggal Ika “.
Secara filosofis bahwa demokrasi Indonesia mendasarkan pada rakyat adalah sebagai asal mula kekuasaan negara dan sekaligus sebagai tujuan kekuasaan negara. Rakyat merupakan penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, oleh karena itu dalam pengertian demokrasi kebebasan individu harus diletakkan dalam kerangka tujuan bersama, bukan bersifat liberal yang hanya mendasarkan pada kebebasan individu saja dan juga bukan demokrasi klass. Kebebasan individu yang diletakkan demi tujuan kesejahteraan bersama inilah yang menurut istilah pendiri negara disebut sebagai asas kebersamaan, asas kekeluargaan akan tetapi `bukan nepotisme’.
Secara umum didalam sistem pemerintahan yang demokratis senantiasa mengandung unsur-unsur yang paling penting dan mendasar yaitu :
(l) Keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik.
(2) Tingkat persamaan tertentu diantara warganegara.
(3) Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh warganegara.
(4) Suatu sistem perwakilan
(5) Suatu sistem pemilihan kekuasaan mayoritas.
Berdasarkan unsur-unsur tersebut maka demokrasi mengandung ciri yang merupakan patokan yaitu setiap sistem demokrasi adalah ide bahwa warganegara seharusnya terlibat dalam hal tertentu dalam bidang pembuatan keputusan-keputusan politik, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan melalui wakil pilihan mereka. ciri lain yang tidak boleh diabaikan adalah adanya keterlibatan atau partisipasi warganegara baik langsung maupun tidak langsung didalam proses pemerintahan negara.
Oleh karena itu didalam kehidupan kenegaraan yang menganut sistem demokrasi, kita akan selalu menemukan adanya Supra Struktur Politik dan Infra Struktur Politik sebagai komponen pendukung tegaknya demokrasi. Dengan menggunakan konsep Montequieu maka Supra Struktur Politik meliputi lembaga Legislatif, Lembaga Ekskutif dan Lembaga Yudikatif. Untuk negara-negara tertentu masih ditemukan lembaga-lembaga negara yang lain, misalnya negara Indonesia dibawah sistem Undang-Undang Dasar 1945, lembaga-lembaga negara atau alat-alat perlengkapan negara adalah:
Majelis Permusyawaratan
Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat
Presiden
Mahkamah Agung
Badan Pemeriksa Keuangan

Adapun infra struktur politik suatu negara terdiri atas lima komponen sebagai berikut:
Partai Politik
Golongan (yang tidak berdasarkan pemilu)
Golongan Penekan
Alat Komunikasi Politik
Tokoh-Tokoh Politik
Baik Supra Struktur Politik maupun Infra Struktur Politik yang terdapat dalam sistem ketatanegaraan masing-masing saling mempengaruhi serta mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak lain. Dalam sistem Demokrasi, mekanisme interaksi antara Supra Struktur Politik dapat dilihat didalam proses penentuan kebijaksanaan umum atau menetapkan keputusan politik, maka kebijaksanaan atau keputusan politik itu merupakan masukan (input) dari Infra Struktur, kemudian dijabarkan sedemikian rupa oleh Supra Struktur Politik.
Dengan demikian dalam sistem demokrasi proses pembuatan kebijaksanaan atau keputusan politik merupakan keseimbangan dinamis antara prakarsa pemerintah dan partisipasi aktif rakyat atau warga negara.
Keikutsertaan rakyat yang terumuskan dalam UUD 1945 oleh para pendiri negara tercantumkan bahwa “kedaulatan di tangan rakyat” yang termuat dalam pasal I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (Thaib, 1994: 99, 100).
2. Penjabaran Demokrasi menurut WD 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen 2002
Berdasarkan ciri-ciri sistem demokrasi tersebut maka penjabaran demokrasi dalam ketatanegaraan Indonesia dapat ditemukan dalam konsep demokrasi sebagaimana terdapat dalam UUD 1945 sebagai ” Staatsfundamentalnorm” yaitu “…Suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat…” (ayat 2), selanjutnya didalam penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan Negara angka Romawi III dejelaskan “Kedaulatan Rakyat…”
Rumusan kedaulatan di tangan rakyat menunjakkan bahwa kedudukan rakyatlah yang tertinggi dan paling sentral. Rakyat adalah sebagai asal mula kekuasaan negara dan sebagai tujuan kekuasaan negara. Oleh karena itu “rakyat” adalah merupakan paradigma sentral kekuasaan negara. Adapun rincian struktural ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan demokrasi menurut UUD 1945 adalah sebagai berikut:
(a) Konsep Kekuasaan
Konsep kekuasan Negara menurut demokrasi sebagai terdapat dalam UUD 1945 sebagai berikut:
(1) Kekuasaan di Tangan Rakyat
(a) Pembukaan UUD Alinea IV
“……Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat……… “
(b) Pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945
” Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan ” (pokok pikiran III)
(c) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (1)
” Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik “. Kemudian penjelasan terhadap pasal ini UUD 1945 menyebutkan ” Menetapkan bentuk kesatuan dan Repubiik mengandung isi Pokok Pikiran Kedaulatan rakyat”.
(d) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2)
” kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar”.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam negara Republik Indonesia pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan tertinggi adalah ditangan rakyat dan realisasinya diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara. Sebelum dilakukan amandemen kekuasaan tertinggi dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

(2) Pembagian Kekuasaan
Sebagaimana dijelaskan bahwa kekuasaan tertinggi adalah ditangan rakyat, dan dilakukan menurut Undang-lindang Dasar, oleh karena itu pembagian kekuasaan menurut demokrasi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:
(a) Kekuasaan Ekskutif, didelegasikan kepada Presiden (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945)
(b) Kekuasaan Legislatif, didelegasikan kepada Presiden dan DPR dan DPD (pasal5) ayat l. pasal 19 dan pasa122 C UUD 1945)
(c) Kekuasaan Yudikatif, didelegasikan kepada Mahkamah Agung (pasa124 ayat(l) UL’D 1945)
(d) Kekuasaan Inspektif, atau pengawasan didelegasikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini termuat dalam UUD 1945 pasal 20 Ayat (1)”…DPR juga memiliki fungsi pengawasan terhadap presiden selaku penguasa ekskutif.
(e) Dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak ada Kekuasaan Konsultatif, yang dalam UUD lama didelegasikan kepada Dewan Pertimbangan Agung (DPA), (pasal 16 UUD 1945). Dengan lain perkataan UUD 1945 hasil amandemen telah menghapuskan Dewan Pertimbangan Agung, karena hal ini berdasarkan kenyataan pelaksanaan kekuasaan negara fungsinya tidak jelas.
Mekanisme pendelegasian kekuasaan yang demikian ini dalam khasanah ilmu hukum tatanegara dan ilmu politik dikenal dengan istilah ‘Distribution of power’ yang merupakan unsur mutlak dari negara demokrasi.
(3) Pembatasan Kekuasaan
Pembatasan kekuasaan menurut konsep UUD 1945, dapat dilihat melalui proses atau mekanisme 5 tahunan kekuasaan dalam UUD 1945 sebagai berikut:
(1) Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 “kedaulatan ditangan rakyat…”. Kedaulatan politik rakyat dilaksanakan lewat pemilu untuk membentuk MPR dan DPR setiap 5 tahun sekali.
(2) “Majelis Permusyawaratan Rakyat memiliki kekuasaan melakukan perubahan terhadap UUD, melantik Presiden dan wakil Presiden, serta melakukan impeachment terhadap presiden jikalau melanggar konstitusi
(3) Pasal 20 A ayat (1) memuat ” Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi pengawasan, yang berarti melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan yang dijalankan oleh Presiden dalam jangka waktu 5 tahun”.
(4) Rakyat kembali mengadakan Pemilu setelah membentuk MPR dan DPR (rangkaian kegiatan 5 tahunan sebagai realisasi periodesasi kekuasaan).
Dalam pembatasan kekuasaan menurut konsep mekanisme 5 tahunan kekuasaan sebagaimana tersebut diatas, menurut UUD 1945 mencakup antara lain: periode kekuasaan, pengawasan kekuasaan dan pertanggung jawaban kekuasaan.

(b) Konsep Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan menurut UUD 1945 dirinci sebagai berikut
(1) Penjelasan UUD 1945 tentang Pokok Pikiran ke III, yaitu “..Oleh karena itu sistem negara yang terbentuk dalam UUD 1945, harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan/Perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.
(2) Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak, misalnya pasal 7B ayat (7).
Ketentuan-ketentuan tersebut diatas mengandung pokok pikiran bahwa konsep pengambilan keputusan yang dianut dalam hukum tata negara Indonesia adalah berdasarkan:
(1) Keputusan didasarkan pada suatu musyawarah sebagai asasnya, artinya segala keputusan yang diambil sejauh mungkin diusahakan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2) Namun demikian jikalau mufakat itu tidak tercapai, maka dimungkinkan pengambilan keputusan itu melalui suara terbanyak.
(c) Konsep Pengawasan
Konsep pengawasan menurut UUD 1945 ditentukan sebagai berikut:
(1) Pasal 1 ayat (2), ” Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang dasar”. Dalam penjelasan terhadap pasal 1 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa, rakyat memiliki kekuasaan tertinggi namun dilaksanakan dan didistribusikan berdasarkan UUD. Berbeda dengan UUD lama sebelum dilakukan amandemen, MPR yang memiliki kekuasaan tertinggi sebagai penjelmaan kekuasaan rakyat. Maka menurut UUD hasil amandemen MPR kekuasaannya menjadi terbatas, yaitu meliputi Presiden dan Wakil Presiden dan memberhentikan presiden sesuai dengan masa jabatannya atau jikalau melanggar UUD.
(2) Pasal 2 ayat (1), : Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut maka menurut UUD 1945 hasil amandemen MPR hanya dipilih melalui Pemilu.
(3) Penjelasan UUD 1945 tentang kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat, disebut:”…kecuali itu anggota-anggota DPR semuanya merangkap menjadi anggota Majelis Permusyawatan Rakyat. Oleh karena itu DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden…”.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas maka konsep pengawasan menurut demokrasi Indonesia sebagai tercantum UUD 1945 pada dasarnya adalah sebagai berikut:
(1) Dilakukan oleh seluruh warga negara. Karena kekuasaan di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah di tangan rakyat.
(2) Secara formal ketatanegaraan pengawasan berada pada DPR.

(d) Konsep Partisipasi
Konsep partisipasi menurut UUD 1945 adalah sebagai berikut:
(1) Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
“Segala Warganegara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya”.
(2) Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang”.
(3) Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
” Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara”.
Berdasarkan ketentuan sebagaimana termuat dalam UUD 1945 tersebut diatas, maka konsep partisipasi menyangkut seluruh aspek kehidupan kenegaran dan kemasyarakatan dan partisipasi itu terbuka untuk seluruh warga negara Indonesia (Thaib, 1994: 100-112).
Demokrasi Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 beserta penjelasannya mengandung suatu pengertian bahwa rakyat adalah sebagai unsur sentral, oleh karena itu pembinaan dan pengembangannya harus ditunjang oleh adanya orientasi baik pada nilai-nilai yang universal yakni rasionalisasi hukum dan perundang-undangan juga harus ditunjang norma-norma kemasyarakatan yaitu tuntunan dan kehendak yang berkembang dalam masyarakat.
Selain itu realisasi demokrasi Indonesia sangat ditentukan oleh otentisitas tafsir pasal-pasal UUD 1945. Atas musyawarah untuk mufakat yang oleh pendiri negara diistilahkan dengan asas kebersamaan kekeluargaan, bukan disalahtafsirkan sebagai “praktek nepotisme” sebagaimana dilakukan oleh pemerintahan sebelum era reformasi. Kata kunci asas kekeluargaan adalah kedaulatan rakyat. Jadi sumber norma, sumber nilai demokrasi Indonesia adalah kerakyatan sebagai dasar filosofinya.
Sistem demokrasi Indonesia sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 yang hanya memuat dasar-dasarnya saja memungkinkan untuk senantiasa dilakukan reformasi sesuai dengan perkembangan aspirasi rakyat, karena rakyat adalah sebagai pendukung kekuasaan negara. Misalnya pada zaman Orde Lama kita menganut multi partai, kemudian Orde Baru menganut sistem dua partai dan satu golongan karya, dan era reformasi dewasa ini dikembangkan kembali multi partai yang benar-benar memberikan kebebasan untuk berserikat dan berkumpul yangsesuai dengan Undang-undang.